Sabtu, 13 Maret 2010

desa cibodas maju
Mengelola Air Cara Desa Cibodas


Potensi sumber air di beberapa tempat kian menyusut. Padahal negeri yang elok dan indah ini telah dikaruniai sumber-sumber mata air yang melimpah. Namun, karunia yang melimpah itu kini telah hilang seiring pesatnya laju pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.

Penebangan hutan yang membabi-buta dan alih fungsi lahan yang kian merajalela itu membuat sumber-sumber air menjadi kering. Sedangkan, kebutuhan penduduk yang jumlahnya semakin tinggi terus meningkat.

Di tengah ancaman krisis air itu, ada setitik harapan baru dari beberapa kelompok masyarakat di Jabar yang sudah memiliki kesadaran akan pentingnya air. Kesadaran itu ternyata berkembang di pelosok-pelosok yang sejak dahulu mengalami krisis air bersih. Mereka, kini mulai mengelola air secara efisien dan efektif.

Pentingnya air bagi kehidupan sangat dirasakan warga Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Sebelum tahun 1998, ribuan warga desa yang tinggal di sekitar Bandung Utara itu hidup di tengah krisis air. Untuk mendapatkan setetes air, warga Cibodas harus turun naik lembah dan berjalan sekitar enam hingga tujuh kilometer.

''Untuk membuat sumur, kita perlu menggali tanah sampai 24 meter. Jika musim kemarau sumurnya pasti kering,'' tutur Otoy Patrianegara(Alm), salah seorang tokoh masyarakat. Saat-saat duka itu telah berlalu. Kini, warga Desa Cibodas bisa menikmati air dengan mudah. Derasnya air bersih saat ini sudah sampai di rumah-rumah penduduk.

Menurut Kepala Desa Cibodas, Dindin Sukaya, untuk mendatangkan air dari bukit melewati lembah hingga ke rumah penduduk tidak semudah membalik telapak tangan. Mahal dan bernilainya air bagi kehidupan warga Cibodas membuat mereka bergandeng tangan.

Mereka menyatukan semangat dan kebersamaan untuk mengalirkan air ke rumah-rumah mereka.Mengalirnya air bersih hingga bisa sampai ke rumah-rumah berawal dari terpilihnya Desa Cibodas sebagai juara II lomba desa se-Jabar pada tahun 1984.

Pemerintah pun mulai melirik desa yang berjarak 25 km dari Kota Bandung ini. Kesulitan air yang dirasakan masyarakat kemudian disampaikan kepada gubernur. ''Kemudian, kita dapat bantuan Rp32 juta dari gubernur,'' tutur
Dindin Sukaya.

Padahal untuk mendatangkan air dari sumbernya yang berjarak tujuh kilometer dibutuhkan dana sekitar Rp132 juta. Kekurangan dana itu tidak lantas menjadi hambatan. Warga pun kemudian berembuk untuk mengatasi persoalan kesulitan air yang menjadi sumber kehidupan. Lantas, warga pun bersama-sama menyingsingkan lengan baju untuk menanggung kekurangan itu dengan meminjam dana.

Sejak tahun 1998 air sudah mengalir ke desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani itu. Meski tinggal di daerah berbukit, tetapi warga desa Cibodas telah menerapkan sistem pengelolaan air bersih secara profesional. Layaknya perusahaan air minum, warga membentuk badan pengelolaan air bersih (BPAB) yang dikelola oleh penduduk desa.

''Awalnya, hanya 242 keluarga saja yang berlangganan air,'' ucap Otoy, Ketua BPAB Desa Cibodas. Setiap tahun, jumlah konsumen pun terus bertambah. Hingga tahun 2002 jumlah konsumen air bersih yang dikelola secara swadaya itu telah mencapai 1645 keluarga. Saat ini, jumlah keluarga yang tinggal di Desa Cibodas mencapai 2200 Keluarga.

Sistem pembayarannya pun mirip dengan perusahaan air minum daerah. Di setiap rumah pelanggan ditempatkan meteran. Besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh pelanggan, bergantung pada jumlah pemakaian. Bagi kelurga yang tergolong kurang mampu, terdapat keringanan jika ingin menjadi pelanggan. ''Kita gunakan sistem subsidi silang, bagi warga yang tak mampu,

Pengelolaan air secara swadaya dan swadana itu berlangsung secara transparan. Setiap pendapatan dan pengeluaran dicatat dan dilaporkan secara terbuka. BPAB Desa Cibodas pun memiliki tenaga-tenaga yang khusus, mulai dari pencatat meteran hingga teknisi yang siap memperbaiki saluran yang rusak.

Desa Cibodas sebenarnya tidak memiliki mata air. Dua mata air yang berada di kaki Gunung Bukittunggul berada di Suntenjaya. ''Itu tak jadi masalah karena setiap bulan kita memberi uang kompensasi kepada Desa Suntenjaya Rp 500 ribu,'' tutur Hanes Lise. Tidak cuma itu, banyak pula warga Desa Suntenjaya yang menjadi pelanggan air bersih yang dikelola desanya.

Tidak seperti perusahaan air minum, daerah yang selalu mengaku merugi, BPAB Desa Cibodas malah bisa mengantongi keuntungan. Selama 11 tahun, BPAB sudah bisa meraup keuntungan sebesar Rp241 juta. Sedangkan dana pinjaman yang dahulu digunakan untuk membangun jaringan air bersih pun kini hampir lunas. Padahal, batas waktu yang diberikan bagi warga Desa Cibodas untuk melunasi pinjaman hingga tahun 2003.

Setiap keuntungan yang diperoleh dari hasil mengelola air, kata Hanes, digunakan untuk membiayai desa. Hebatnya lagi, warga Desa Cibodas kini sudah mulai bisa membantu pemerintah. Buktinya, warga Desa Cibodas telah berhasil menyediakan lahan untuk pembangunan SLTP. Luas lahan yang disediakan warga seluas 6.400 hektare itu dibeli seharga Rp160 juta dari hasil keuntungan mengelola air.

''Bahkan, dua tahun lagi gedung desa ini akan menjadi bangunan paling mewah se-Kabupaten Bandung,'' cetus Hanes. Menurut Hanes, warga Desa Cibodas ingin hidup mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah.

Tanpa harus bergantung pada bantuan pemerintah dan luar negeri sebenarnya masyarakat Indonesia mampu hidup mandiri. Asalkan ada sebuah kesadaran. Besok kita akan merayakan Hari Air. Sebelum krisis air mengancam kita, agaknya upaya dari warga Desa Cibodas itu pantas untuk ditiru dan diterapkan. Sehingga, di masa depan kita mewariskan anak cucu dengan mata air, bukan air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar